-->

Inflasi Naik, Hati-hati Stagflasi

Inflasi Naik, Hati-hati Stagflasi.lelemuku.com.jpg

Musim rilis laporan keuangan (earnings report) di Amerika Serikat (AS) merupakan saat paling aktif bagi para pelaku pasar saham. Laporan keuangan kuartal ketiga ini sering kali menjadi tolok ukur kinerja tahun berjalan, dan menjadi acuan bagi kinerja emiten di tahun mendatang. Kinerja emiten yang positif akan menjadi katalis bagi pergerakan pasar saham. Di AS, lebih dari 80 persen emiten yang terdaftar pada indeks S&P 500 melaporkan kinerja di atas ekspektasi, yang menunjukkan bahwa pemulihan bisnis masih berlanjut.

Pada awal November, bank sentral AS, Federal Reserve, akhirnya memutuskan untuk melakukan tapering atau pengurangan pembelian aset sebanyak US$ 15 miliar per bulan mulai akhir November 2021. Namun, Fed juga mengungkapkan bahwa arah kebijakan ekonomi selanjutnya tetap akan mengikuti perkembangan data ekonomi, terutama data ketenagakerjaan. Menaikkan tingkat suku bunga untuk menahan inflasi dapat berdampak pada pertumbuhan bisnis dan sektor ketenagakerjaan. Sementara itu, inflasi Oktober terlihat meningkat 0,9 persen secara bulanan, atau 6,2 persen year-on-year. Lonjakan inflasi tertinggi dalam hampir tiga dekade ini didorong oleh kenaikan harga energi dan kelangkaan persediaan akibat musim dingin. Hal ini mendorong kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS untuk 10 tahun atau US Treasury ke 1,5 persen mengantisipasi peluang kenaikan suku bunga yang lebih cepat, setidaknya pada paruh kedua di 2022.

Di sisi lain, perdebatan panjang yang terjadi di kongres Amerika antara Partai Demokrat dan Partai Republik terkait dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Infrastruktur Amerika Serikat akhirnya mencapai kata sepakat. RUU yang nilainya mencapai US$ 1 triliun akan mengatur tentang peningkatan belanja infrastruktur untuk jalan raya dan infrastruktur pendukung lainnya. Setelah ditandatangani oleh Presiden Joe Biden, maka RUU akan sah menjadi undang-undang. Serangkaian peristiwa ini berhasil menghantar indeks saham Wall Street mencatatkan penguatan selama sembilan hari berturut-turut hingga menyentuh all-time high.

Akan tetapi, kenaikan inflasi tidak hanya terjadi di AS. Cina merilis kenaikan inflasi sebesar 1,5 persen y-o-y pada Oktober, sementara inflasi dari sisi produsen mencatatkan kenaikan 13,5 persen secara tahunan, yang merupakan level tertinggi dalam 26 tahun terakhir, akibat kenaikan biaya energi pada produksi. Kenaikan inflasi pada sisi produsen dapat mendorong terjadinya inflasi pada sisi konsumen, atau disebut sebagai cost push inflation. Di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina, indikasi lonjakan inflasi ini meningkatkan kekhawatiran terjadinya stagflasi.

Di tengah perlambatan fundamental ekonomi dan lonjakan kasus Covid-19, pasar saham Cina dan Hong Kong masih dibayangi oleh awan kelabu. Paska krisis likuiditas yang dialami oleh perusahaan pengembang properti Evergrande, sejumlah pengembang lainnya seperti Fantasia Holding, Sinic Holding, Modern Land, dan Kaisa Group mulai mengalami hal serupa. Aturan The Three Red Line yang ditetapkan oleh pemerintah Cina telah membuat sejumlah perusahaan pengembang ini kesulitan mendapatkan akses pada pendanaan. Meskipun terjadi tekanan pada sektor properti, namun tidak pada sektor teknologi. Indeks teknologi Hong Kong, Hang Seng Tech Index mencatatkan kenaikan sebesar 11 persen pada Oktober 2021. Hal ini diakibatkan oleh aksi bargain hunting investor, mengingat valuasi pasar saham Cina yang lebih menarik.

Lonjakan inflasi yang diakibatkan oleh kelangkaan gas alam yang melanda sebagian belahan dunia, memicu kenaikan sumber energi lain seperti batubara. Indonesia sebagai salah satu negara produsen batubara terbesar di dunia, mengalami peningkatan ekspor yang signifikan. Surplus neraca perdagangan tercatat sebesar $4,37 miliar pada September 2021. Selain itu pelonggaran aktivitas ekonomi di tengah landainya penambahan kasus harian Covid-19 dan kenaikan laju vaksinasi, mendorong kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menyentuh level tertinggi sepanjang masa di kisaran 6.700. Membaiknya prospek ekonomi Indonesia mendorong investor asing untuk kembali masuk ke pasar saham Indonesia dan memborong saham-saham berkapitalisasi besar atau blue chips stocks.

Berbeda dengan negara lain yang berkutat dengan lonjakan inflasi, inflasi di Indonesia justru tercatat masih rendah di 1,66 persen y-o-y. Selain itu, sentimen tapering AS yang lebih dovish turut mendorong kestabilan imbal hasil obligasi pemerintah di kisaran 6 persen. Dukungan Bank Indonesia dalam proses pemulihan ekonomi, melalui skema burden sharing, serta suplai obligasi yang terbatas, berhasil menjaga kestabilan pasar obligasi. Imbal hasil riil atau real yield yang masih tinggi diatas obligasi negara lain, dapat menjadi peredam dari dampak kenaikan imbal hasil US Treasury. Untuk imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun diperkirakan masih akan stabil di kisaran 6-6,3 persen hingga akhir tahun.

Keputusan tapering terlihat menekan pergerakan mata uang Garuda. Walaupun sempat menguat di bawah Rp 14.100 di pertengahan Oktober, rupiah sempat melemah ke level Rp 14.313 terhadap dolar AS saat tapering diumumkan sebelum kembali di kisaran Rp 14.200-14.300. Cadangan devisa di akhir Oktober sebesar US$ 145,5 miliar, dan pendapatan bruto negara yang masih tercatat surplus 3,51 persen secara tahunan (y-o-y). Hal tersebut diharapkan memberikan stabilitas pada nilai tukar rupiah di kisaran Rp 14.150-14.450 hingga akhir tahun.

Meskipun demikian, di tengah optimisme pasar, investor pun perlu mewaspadai adanya koreksi yang terjadi saat sentimen negatif kembali bermunculan di pasar. Ada dua strategi yang dapat diterapkan saat berinvestasi adalah dengan melakukan diversifikasi dan dollar cost averaging. Dengan diversifikasi, memungkinkan kita untuk membagi alokasi portfolio investasi berdasarkan profil risiko atau risk appetite ke beberapa jenis aset seperti deposito, obligasi maupun reksa dana saham. Sementara, dollar cost averaging atau akumulasi bertahap saat terjadi koreksi, akan membantu menurunkan rata-rata harga beli dari investasi kita. Kedua strategi ini dapat membantu kita, sebagai investor, untuk meminimalisasi risiko kerugian yang muncul akibat sentimen negatif tersebut.

Membuat keputusan investasi di tengah pandemi tentunya tidak mudah, apalagi jika mulai berinvestasi dengan cara tradisional, dengan kita perlu datang mengunjungi bank terdekat atau membutuhkan proses tatap muka secara langsung. Namun dengan kemajuan teknologi, hal ini semakin dipermudah. Memulai investasi pun bisa dilakukan sambil rebahan dengan adanya pembelian investasi secara online. Tentunya, investor juga perlu memilih bank dengan reputasi dan kredibilitas yang baik, yang juga diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pertimbangkan untuk berinvestasi melalui bank yang dapat menyediakan layanan investasi terintegrasi dengan transaksi keuangan harian untuk memudahkan transaksi pembelian investasi yang dipilih.

Juky Mariska
Wealth Management Head, Bank OCBC NISP

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel