-->

Omong Kosong Kedaulatan Migas

Omong Kosong Kedaulatan Migas.lelemuku.com.jpg

Perhitungan bisnis yang komprehensif dan transparan semestinya menjadi pedoman utama pemerintah dalam mengelola ekonomi. Hanya dengan begitu setiap keputusan pemerintah akan membawa keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. Amat disayangkan, enam tahun lebih pemerintahan Presiden Joko Widodo justru menjauh dari norma itu.

Getahnya terasa amat pekat sekarang di sektor hulu minyak dan gas bumi. Di tengah kebutuhan menggenjot produksi nasional, rencana pengembangan sejumlah ladang migas raksasa justru tak menentu. Penyebabnya, politisasi pada keputusan-keputusan pemerintah Jokowi. Contoh nyata terlihat di Blok Rokan, Riau.

Pemerintah memutuskan PT Pertamina (Persero) sebagai operator baru Blok Rokan, yang sebelumnya dikelola PT Chevron Pacific Indonesia, mulai Agustus mendatang. Ketika menolak permohonan perpanjangan kontrak Chevron pada Juli 2018, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengklaim pemilihan Pertamina sebagai operator baru sepenuhnya berlandaskan perhitungan bisnis.

Dalam perkembangannya, penghentian kontrak itu lebih terlihat sebagai nasionalisasi aset yang sarat kepentingan politik menjelang pemilihan presiden 2019. Dalam kampanye, Jokowi kerap menyebut keputusan pemerintah di Rokan sebagai bukti kedaulatan Indonesia di sektor energi. Nyatanya, perhitungan bisnis yang diklaim pemerintah tak terlihat di masa transisi yang hingga kini diwarnai banyak persoalan.

Pertamina hingga kini belum kelar bernegosiasi dengan Chevron agar dapat menggunakan formula kimia yang dikembangkan secara khusus oleh perusahaan migas asal Amerika Serikat tersebut untuk memompa minyak dari sumur-sumur tua Blok Rokan. Pertamina kini pun masih harus menunggu kepastian pasokan listrik untuk seluruh fasilitas produksi yang selama ini juga bergantung pada pembangkit milik Chevron.

Jika dua masalah tersebut beres, belum ada jaminan Pertamina akan berhasil mempertahankan, apalagi meningkatkan, produksi minyak Blok Rokan seperti yang diharapkan pemerintah. Padahal dampak dari keputusan pemerintah dua tahun lalu itu sudah terasa. Produksi Rokan melorot tajam, dari 210 ribu barel per hari pada 2018 menjadi hanya sekitar 170 ribu barel per hari pada 2020, karena Chevron mengerem investasinya.

Chevron belakangan juga memutuskan hengkang dari megaproyek Ultra Laut Dalam Indonesia (IDD) tahap II di Selat Makassar. Tak hanya kehilangan potensi pendapatan jutaan dolar akibat penurunan produksi Blok Rokan, pemerintah kini kudu mencari investor baru di IDD, yang kemungkinan besar bakal berimbas pada mundurnya jadwal produksi perdana pada 2025.

Chevron bukan satu-satunya investor yang memilih angkat kaki dari Indonesia. Sebelumnya, Shell Upstream Overseas Services Ltd memutuskan keluar dari proyek Lapangan Abadi, Blok Masela, karena menganggap pengembangan ladang gas raksasa di Laut Arafura ini tak lagi ekonomis. Keputusan pemerintah mengubah skema pengembangan Masela dari kilang laut (offshore) ke kilang darat (onshore) menyebabkan biaya investasi membengkak dari US$ 15 miliar menjadi US$ 19,8 miliar. Ketika mengumumkan keputusannya pada Maret 2016, Jokowi berdalih skema darat akan berdampak lebih besar terhadap perekonomian daerah di sekitar proyek Masela. Kini hengkangnya Shell menyisakan tanda tanya besar soal kelanjutan proyek tersebut.

Presiden Joko Widodo harus menghentikan keputusan ekonomi yang cenderung mengedepankan popularitas ketimbang perhitungan bisnis dalam mengelola sektor usaha. Politisasi ekonomi, terlebih dengan jargon nasionalisme sempit, bertolak belakang dengan ambisi menarik investasi global yang sekarang didengungkan pemerintah.

Indonesia kini amat membutuhkan investasi baru untuk menggenjot produksi migas. Saban tahun penurunan produksi dalam negeri yang berbanding terbalik dengan konsumsi telah menjadi borok di neraca transaksi berjalan akibat tingginya impor minyak. Inkonsistensi kebijakan pemerintah jelas akan membuat investor global berpikir ribuan kali untuk menanamkan modalnya di sektor migas, yang bersifat jangka panjang dan berisiko tinggi. Kedaulatan energi yang digembar-gemborkan di masa kampanye pun hanya omong kosong.

TEMPO

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel