-->

Perlunya Kader Penggerak Pendidikan

Perlunya Kader Penggerak Pendidikan .lelemuku.com.jpg

Pandemi Covid-19 belum jelas kapan berakhirnya. Ada yang memperkirakan, situasi ini masih akan berlangsung hingga dua tahun lagi. Dan sudah setahun terakhir ini, kita berada pada tahap new normal. Kita harus melakukan adaptasi baru. Meninggalkan kebiasaan lama dan menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan baru menjadi keniscayaan. Ini bukan untuk "penyelamatan" diri semata tapi demi keselamatan generasi kita di masa depan.

Tanpa kecuali, adaptasi baru di bidang pendidikan. Proses belajar-mengajar pun mengalami penyesuaian. Pada pertengahan Maret ini, tepat satu tahun proses pembelajaran mengalami perubahan cukup mendasar. Para peserta didik tidak lagi secara langsung bertatap muka dengan guru. Mereka justru diharuskan menatap android tiap hari guna mengikuti proses pembelajaran itu sendiri. Inilah yang kita kenal dengan “daring” atau dalam jaringan, sistem pembelajaran online yang tak lagi terelakkan karena tuntutan keadaan.

Absennya interaksi dalam proses pembelajaran kita, bagaimanapun telah membawa implikasi yang tak sederhana. Sistem online, tak lain masuk dalam jaringan internet, selain berbiaya cukup tinggi, ternyata juga sangat berdampak pada “mentalitas” para siswa. Di sini, pembentukan karakter sebagai salah satu misi utama pendidikan kita memperoleh tantangannya tersendiri.

Keteladanan


Sejatinya, pendidikan merupakan proses yang menyeluruh. Tidak sekadar alih pengetahuan semata. Pendidikan adalah proses transformasi. Dalam konteks ini, KH. Said Aqil Siradj (2006) menjelaskan tentang “konsepsi” transformasi tersebut.

Menurut Ketua Umum PBNU itu, dalam tradisi pesantren khususnya, dikenal beberapa istilah kependidikan yang masing-masing mempunyai makna tersendiri.

Pertama, at-ta'lim, di mana proses transformasi ilmu pengetahuan lebih menitikberatkan pada aspek kualitas, bukan kuantitas. Di sini, keseimbangan antara fisik-metafisik, rasional-irrasional, juga substantif-formalistik, benar-benar diperhatikan dan dikembangkan.

Kedua, at-tadris. Yaitu, proses pendidikan yang mampu menumbuhkan transformasi ilmu pengetahuan (ilmiyah) sekaligus pengalaman keilmuan (amaliyah). Di sini, antara teori dan praktek benar-benar diterapkan.

Ketiga, at-ta'dib. Yakni, proses transformasi yang menumbuhkan nilai-nilai kesadaran, membentuk sikap dan moralitas: menjunjung tinggi etika, beradab, berbudaya, dan taat hukum, membangun integritas yang justru dimulai dari diri sendiri.

Keempat, at-tarbiyah. Tak lain, proses pendidikan yang menumbuhkan kesadaran ilahiyah. Bahwa Tuhan adalah penguasa semesta, Maha Segalanya.

Itulah yang membedakan pesantren dengan sistem pendidikan pada umumnya. Namun saat ini kita tidak akan bermaksud mengkontraskan soal perbedaan itu. Masing-masing memiliki keunggulannya sendiri.

Sungguhpun demikian, kita harus sepakat, jika pendidikan dimaksudkan sebagai pembentukan karakter, maka tak salah menjadikan sistem pendidikan pesantren sebagai model yang tepat. Inilah habitus nusantara, model pendidikan tertua kita.

Yang paling menonjol dari sistem pendidikan pesantren tak lain keberadaan kiai itu sendiri. Pesantren memang tak lepas dari kiai. Sebagai pengasuh, kiai tak sekadar mentransformasikan ilmu. Lebih dari itu, juga memberikan keteladanan. Apalagi, antara kiai dan santri berada dalam lingkungan yang sama, setiap hari, tentu sikap dan perilaku akan sangat mudah terdeteksi. Kiai secara langsung dapat mengontrol para santri. Sebaliknya, para santri mendapatkan teladan langsung dari pengasuhnya.

Tak hanya itu. Ada yang lebih utama, yaitu berkah doa. Para santri selalu didoakan kiai, dimohonkan agar memperoleh ilmu manfaat, menjadi pribadi saleh dan salehah. Berkah, tak lain, ziyadat al-hair, bertambahnya kebaikan, agar para santri benar-benar maslahat untuk masyarakat.

Pelajar Pancasila


Model pendidikan pesantren kini telah banyak diadopsi dengan munculnya boarding schol atau sekolah berbasis pesantren. Tentu ini menggembirakan. Dapat dipastikan, pendidikan yang mengutamakan pembentukan karakter akan menjadi pilihan realistik ke depan.

Secara idealistik, di atas kertas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga telah merumuskan itu. Hal ini terbaca dalam visi Kemendikbud itu sendiri, yaitu menciptakan Pelajar Pancasila, tiada lain, merupakan perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dengan enam ciri utama: beriman - bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa - berakhlak mulia, kebhinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar ktitis, dan kreatif.

Rumusan idealistik itulah yang kemudian dipopulerkan saat ini dengan istilah profil pelajar Pancasila. Tentu, ini tak sebatas istilah. Mendikbud Nadiem Makarim juga tidak sedang bermain kata belaka. Dia, meskipun tak punya cukup pengalaman dibidang pendidikan, namun terlihat keseriusannya membangun sistem pendidikan yang baru dan berbeda dari sebelumnya. Pengalaman sukses bisnisnya, mungkin yang lebih banyak menginspirasi kebijakannya saat ini.

Terlihat, bagaimana gebrakan yang dilakukannya sejak awal menduduki posisi itu. “Merdeka Belajar” menjadi pilihan yang dicanangkan. Salah satunya, dengan menghapus kebijakan Ujian Nasional (UN). Meskipun kemudian dia merevisinya setelah cukup ramai menjadi perbincangan, bahkan perdebatan.

Dikatakannya, bukan menghapus UN tetapi menggantinya dengan sistem baru, yaitu “Asesmen Kompetensi Minimum dan Survey Karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter.”

Pada aspek itulah, lagi-lagi, kita semua harus diyakinkan bahwa “merdeka belajar” tidak hanya berhenti pada upaya “liberalisasi” pendidikan. Proses pembelajaran bebas, apalagi di tengah situasi pandemi Covid-19 saat ini, seakan justru menemukan alasan yang kuat.

Karena, memang sudah cukup lama “idealisme” sistem pendidikan kita mengalami pergeseran sedemikian rupa. Selama ini telah nyata terjadi, meminjam istilah ahli pendidikan Endin AJ Soefihara (2020), “komoditasi pendidikan nasional.” Tak lain, karena pengaruh konstelasi kuasa ekonomi dan kapital sebagai representasi kapitalisme dan ideologi pasar bebas.

Mungkin, harus dikatakan, Mendikbud Nadiem Makarim adalah “produk” sukses dari sistem pendidikan itu. Maka tak salah jika sistem belajar online atau daring dinilai sarat muatan bisnis, kepada siapa kebijakan itu lebih menguntungkan?

Relawan Pendidikan


Yang sebenarnya perlu dikedepankan, bagaimana kita harus menggerakkan proses pendidikan dengan model pembelajaran yang tepat, apalagi di tengah situasi pandemi Covid-19 saat ini.

Tiadanya tatap muka antara guru dan siswa, dan menggantinya dengan sistem belajar daring, bisa jadi lebih efektif jika hanya diukur dari standar modernitas alih pengetahuan. Namun, sekali lagi, pendidikan bukanlah sekadar transfer keilmuan. Di sini, transformasi kultural bahkan yang harus mengedepan.

“Pendidikan merupakan proses kekayaan budaya non-fisik yang dipelihara atau dikembangkan dalam pengasuhan anak-anak dan pengajaran orang-orang dewasa.” Demikian Filsuf Pendidikan Kingsley B. Price (w.2009) dari Berkeley AS.

Justru di sinilah kita menemukan tantangannya. Dalam proses belajar daring, saat ini kita mengenal Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), bagaimana “kepengasuhan” itu harus diterapkan?

Tak sedikit orang tua yang “stres” juga ketika proses pembelajaran itu harus “dirumahkan.” Memang merekalah yang sebenarnya paling bertanggungjawab mengasuh anak. Namun ketika kepengasuhan itu harus sesuai dengan standar formal proses belajar mengajar, dapat dipastikan, hanya sedikit orang tua yang bisa melakukannya.

Di situlah pendampingan sangat diperlukan. Harus ada pihak “ketiga” yang dapat melakukan itu semua. Di sini, kehadiran relawan pendidikan sangat diperlukan. Bahkan, menurut saya, pemerintah harus segera menjadikan itu sebagai kebijakan yang diprioritaskan.

Dalam konteks itu, inisiasi program kegiatan para remaja millenial yang tergabung dalam Gerakan Together We Life Indonesia—populer dengan sebutan Towel—di kota dingin Wonosobo haruslah diapresiasi. Dengan kesadarannya, sudah tiga bulan ini mereka mengorganisasikan diri membentuk relawan pendidikan, melakukan pendampingan pembelajaran jarak jauh.

Dengan segala keterbatasannya, mereka sudah melangkah jauh, terjun ke desa-desa. Lebih dari 1.500 siswa menjadi peserta pendampingan, mengikuti proses PJJ. Secara bergiliran, 80 orang relawan keliling setiap hari. Mereka, terdiri dari mahasiswa aktif dan alumni beberapa perguruan tinggi, tak hanya mengajari mata pelajaran, tetapi juga “bermain” secara kreatif, inovatif, dan penuh kemandirian dengan para siswa.

Proses pembelajaran yang lebih banyak dilakukan di mushalla dan pesantren, juga tempat peribadatan, bahkan di alam terbuka, memungkinkan mereka semua dapat berinteraksi dengan sempurna, nilai-nilai moralitas dan aspek mentalitas pun bisa terjaga.

Dalam Pembekalan Relawan beberapa waktu lalu, program kegiatan Towel tersebut mendapatkan apresiasi khusus dari Dinas Pendidikan Kabupaten Wonosobo. “Ini menjadi pilot project, karena baru kali ini dilakukan di Indonesia,” tegas Kepala Dinas, Moh Kristijadi.

Saya kira, Mendikbud Nadiem Makarim harus segera merumuskan kebijakan yang mencerdaskan. Mengadopsi Gerakan Towel di Wonosobo itu mungkin bisa menjadi pilihan yang tepat.

Kalisuren, 6 Maret 2021


Idham Cholid

Ketua Umum Jayanusa; Pembina Gerakan Towel Indonesia

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel